Apr 11, 2010

Kebebasan Informasi Publik

A. Pendahuluan

Berkembang atau tidaknya bangsa pada saat ini sangat tergantung pada seberapa banyak dan cepatnya mereka memperoleh atau menguasai informasi. Abid Hussain, seorang special rapporteur untuk United Nations menyatakan dalam laporannya bahwa kebebasan informasi merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat penting karena kebebasan tidak akan efektif apabila orang tidak memiliki akses terhadap informasi yang merupakan dasar bagi kehidupan demokrasi.[1] Michael Focault pernah berkata bahwa “knowledge is power”.
Pasal 28 F UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengemabngkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperolah, memiliki dan menyimpan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Ditambah lagi kebebasan informasi ini merupakan hak publik yang dapat menunjang perwujudan penyelenggaraan negara yang terbuka. Menurut Mas Achmad Santosa, pemerintahan yang terbuka mensyaratkan adanya jaminan atas lima hal yaitu:[2]
  1. Hak memantau perilaku pejabat publik dalam menjalankan peran publiknya (right to observe);
  2. Hak memperoleh informasi (right to information);
  3. Hak terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembentukan kebijakan publik (right to participate);
  4. Kebebasan berekspresi, salah satunya diwujudkan melalui kebebasan pers; dan
  5. Hak mengajukan keberatan terhadap penolakan terhadap hak-hak diatas.
Apakah sebenarnya pengertian informasi publik? Istilah ini merujuk pada segala informasi yang berkaitan dengan hajat hidup publik (masyarakat) dan berada di bawah pengelolaan badan-badan publik. Informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.[3]
Informasi publik dapat dimaknai dalam dua term. Pertama, informasi tentang kebijakan pemerintah yang berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat. Oleh karena itu harus diketahui dan dipahami secara akurat oleh masyarakat. Kedua, informasi yang bersifat kontingensi atau mendesak atas konteks dan skala tertentu sebagai bentuk penjelasan atas isu yang berkembang di dalam masyarakat. Kebijakan penyediaan dan pelayanan informasi publik dirancang dan didesain untuk mendorong terpenuhinya dua term pengertian informasi publik tersebut.
Badan publik sendiri merujuk pada seluruh penyelenggara negara pada level eksekutif, legislatif dan yudikatif di semua tingkatan, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan badan-badan hukum milik negara. yang tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara yang sebagian atau seluruhnya dananya bersumber APBN dan/atau APBD. Badan publik juga meliputi organisasi non-pemerintah atau swasta yang menggunakan dana pemerintah, atau mempunyai perjanjian kerja dengan pemerintah untuk menjalankan fungsi pelayanan publik sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat dan/atau luar negeri.
Kedudukan badan-badan publik ini sesungguhnya hanya sebatas sebagai "pengelola informasi". Hal ini perlu ditegaskan karena selama ini ada kerancuan antara posisi badan publik sebagai "pengelola informasi" dan "pemilik informasi". Pemilik informasi publik tetaplah masyarakat. Masyarakat pulalah yang paling berhak untuk mengetahui, memperoleh, dan menggunakan informasi-informasi publik. Apalagi, jika dipertimbangkan bahwa informasi-informasi yang dikelola badan publik mayoritas juga diperoleh dan dihimpun dari sumber-sumber di masyarakat.
Untuk maksud tersebut jelas diperlukan kehadiran alat bantu, sarana atau media. Mengandalkan perolehan informasi dari satu atau dua orang (komunikasi verbal) terasa masih sangat kurang, maka berkembanglah komunikasi massa. Ada dua bentuk media komunikasi massa, yakni cetak (suratkabar, majalah) dan elektronik (radio, televisi).
Fungsi dari media komunikasi massa tidak hanya merupakan “the extention of man” dalam mendapatkan sebanyak dan secepat mungkin informasi, tetapi juga media mampu menampung dan menyalurkan kebutuhan manusia untuk berekspresi mengeluarkan pikiran dan perasaan, mem-‘publik’-kan hal yang sifatnya ‘privat’ dan bahkan sebagai barometer kehidupan politik dan demokrasi suatu masyarakat. Juga tidak dapat dipungkiri bahwa media komunikasi massa mempunyai peranan mampu untuk membentuk “public opinion”. Untuk dapat menjalankan dengan sebaik-baiknya fungsi dan peranan tersebut, maka landasan kerja kebenaran dan kebebasan sangat penting bagi media komunikasi massa.
Melihat fungsi dan peranan yang dimiliki media komunikasi massa, maka sangat diperlukan kehadiran aturan-aturan tentang kehidupan media komunikasi massa. Aturan-aturan tersebut harus melindungi pihak yang akan mempergunakan hak asasinya untuk menyampaikan informasi, namun juga melindungi pihak yang akan mendapat dan memperoleh informasi.
Menurut Oemar Seno Adji, terdapat 3 bidang hukum yang mengatur kehidupan media komunikasi massa (pers): code of publication adalah bidang hukum yang mengatur media komunikasi massa sebagai sarana untuk menyebarluaskan, mem-publikasi-kan informasi; code of enterprise adalah bidang hukum yang mengatur media komunikasi massa sebagai usaha yang bersifat komersial; dan code of ethics in journalism yaitu aturan yang berhubungan dengan etika profesi yang ada dalam bidang pekerjaan media komunikasi massa. Aturan-aturan tersebut sifatnya haruslah “represive yustitial” bukannya “preventive yustitial”, yang artinya aturan tidak boleh dilaksanakan sebelum terjadinya suatu pelanggaran hukum atau sebelum orang melaksanakan kebebasannya untuk menyampaikan pendapat atau pikirannya.
United Nation menyatakan bahwa kebebasan informasi merupakan hak dasar. Resolusi 59 (1) yang telah diadopsi oleh United Nation General Assembly pada 14 Desember 1946 menytaakan bahwa “freedom of information is a fundamental human right and it is the touchstone for all freedoms to which United Nations in consecrated.”[4]


Kategori informasi publik adalah sebagai berikut:
  1. Yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala, meliputi: (1) Yang berkaitan dengan badan publik; (2) Mengenai kegiatan dan kinerja badan publik terkait; (3) Mengenai laporan keuangan; dan/atau (4) Informasi lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
  2. Yang wajib diumumkan secara serta merta, meliputi informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum.
  3. Yang wajib tersedia setiap saat, meliputi: (1) Seluruh informasi publik yang berada dibawah penguasaannya, tidak termasuk informasi yang dikecualikan; (2) Hasil keputusan badan publik dan pertimbangannya; (3) Seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya; (4) Rencana kerja proyek termasuk di dalamnya perkiraan pengeluaran tahunan badan publik; (5) Perjanjian badan publik dengan pihak ketiga; (6) Informasi dan kebijakan yang disampaikan pejabat publik dalam pertemuan yang terbuka untuk umum; (7) Prosedur kerja pegawai badan publik yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat; dan (8) Laporan mengenai akses informasi publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.
  4. Informasi yang dikecualikan, meliputi: (1) Bila diberikan diberikan menghambat proses penegakan hukum; (2) Mengganggu kepentingan perlindungan HAKI; (3) Membahayakan pertahanan dan keamanan negara; (4) Dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia; (5) Merugikan ketahanan ekonomi nasional; (6) Merugikan kepentingan hubungan luar negeri; (7) Mengungkap akta otentik yang bersifat pribadi atau wasiat seseorang; (8) Mengungkap rahasia pribadi; (9) Memorandum atau surat antar badan publik; dan (10) Informasi yang tidak boleh diungkap berdasarkan undang-undang.
  5. Yang diperoleh berdasarkan permintaan, meliputi informasi publik yang tidak tercantum dalam klasifikasi informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala, informasi yang wajib diumumkan secara serta-merta, informasi yang wajib tersedia setiap saat dan informasi yang dikecualikan.
Adapun panduan operasional persiapan pengelolaan informasi publik adalah sebagai berikut:
  1. Hal paling mendasar adalah bagaimana membedakan antara data dan informasi.
  2. Susun daftar informasi apa saja yang dimiliki oleh badan publik. Misalnya informasi tentang perencanaan, TOR, RAB, laporan keuangan, laporan tahunan, hasil riset, dokumen MoU dengan pihak lain, inventaris lembaga, SDM beserta profilnya dan lainnya.
  3. Kumpulkan informasi yang ada dalam daftar itu dalam bentuk digital maupun tercetak. Tentu pada awalnya akan ada kesulitan terutama dengan kemauan untuk berbagi informasi.
  4. Pilah mana informasi yang bisa dipublikasikan dan diakses publik secara langsung dan informasi yang hanya bisa diakses oleh publik dengan syarat tertentu. Misalnya, untuk informasi RAB, badan publik berhak tahu untuk apa jika informasi itu diminta. Apalagi jika RAB untuk hal-hal yang ditenderkan jelas tidak boleh dibuka sebelum tender dilaksanakan.
  5. Pastikan ada pejabat atau orang yang bertanggung jawab dalam mengelola informasi itu, baik untuk sekadar dokumentasi maupun menyediakan prosedur akses oleh publik.
  6. Berkaitan dengan waktu atau tahun informasi, mulai dari tahun sekarang dan yang ada dulu, baru bergerak ke tahun sebelumnya. Jelas butuh kerja ekstra untuk mengumpulkan dokumentasi di tahun-tahun sebelumnya.
  7. Mulai dari sekarang juga karena badan publik hanya punya waktu sampai April 2009 mengingat UU KIP disahkan pada akhir April 2008 dan akan efektif berlaku 2 tahun setelah disahkannya.

B. Pengaturan Kebebasan Informasi Publik

Lebih dari 70 negara di dunia terlah memiliki regulasi terkait kebebasan mengakses informasi.[5] Swedia adalah negara dengan regulasi kebebasan mengakses informasi yang tertua dengan nama
Sweden's Freedom of the Press Act yang dibuat pada tahun 1766 dan merupakan satu dari empat bagian dasar hukum dasar Swedia yang kerap disebut sebagai fundamental law, disamping undang-undang instrumen pemerintahan (instrument of government act), undang-undang pergantian raja (act of succession), dan undang-undang kebebasan ekspresi (law on freedom expression). Undang-undang kebebasan memperoleh informasi di Swedia ini merupakan bagian dari undang-undang kebebasan pers yang menjamin hak para jurnalis untuk bisa mengakses informasi.[6]
Di Amerika Serikat, salah satu negara adidaya saat ini, memiliki undang-undang kebebasan informasi sejak tahun 1966 yang menegaskan bahwa informasi yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah harus dapat diakses oleh publik.[7]
Tetangga Indonesia di lingkaran kawasan Asia Tenggara, Thailand, telah memiliki undang-undang kebebasan memperoleh informasi sejak tahun 1997.[8] Sementara itu, Indonesia baru mampu memiliki regulasi kebebasan mengakses informasi pada tahun 2008 dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang ditetapkan pada tanggal 30 April 2008.
Sebelumnya UU KIP ini diusulkan dengan nama Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP) dan sempat diubah menjadi Kebebasan Informasi Publik.[9] UU KIP ini akhirnya disahkan setelah melewati perdebatan yang alot mengenai banyak hal, antara lain masalah substansi dan persinggungan antara undang-undang ini dengan RUU Rahasia Negara yang saat itu juga tenah dipayakan secar intensif oleh pemerintah. Dalam UU KIP ini kemudian dinyatakan secara tegas bahwa setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik dengan cepat, tepat waktu, biaya ringan dan cara yang sederhana.[10]

C. Asas dan Tujuan KIP

Dalam Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (selanjutnya disebut UU KIP), secara tegas dinyatakan bahwa setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik.[11] Selain itu, setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana.[12] Asas-asas dalam perolehan serta penggunaan Informasi Publik di atas terlepas dari jenis Informasi Publik yang dikecualikan sesuai dengan Undang-undang, kepatutan, dan kepentingan umum.[13]
Mengenai asas-asas dalam perolehan informasi publik oleh pemohon informasi publik lebih dalam diuraikan dalam Penjelasan UU KIP sebagai berikut:
[14]
  1. Bahwa yang dimaksud dengan “tepat waktu” adalah pemenuhan atas permintaan informasi dilakukan sesuai dengan ketentuan UU KIP dan peraturan pelaksanaannya.
  2. Bahwa yang dimaksud dengan “cara sederhana” adalah informasi yang diminta dapat diakses secara mudah dalam hal prosedur dan mudah juga untuk dipahami.
  3. Bahwa yang dimaksud dengan “biaya ringan” adalah biaya yang dikenakan secara proporsional berdasarkan standar biaya pada umumnya.
Undang-Undang KIP memang tidak lain merupakan upaya pemerintah untuk mengejawantahkan amanat konstitusi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28 F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, dalam Pasal 3 Undang-Undang KIP juga diuraikan secara jelas kerangka tujuan yang diharapkan tercapai, antara lain sebagai berikut:
  1. Menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;
  2. Mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik;
  3. Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan badan publik yang baik;
  4. Mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;
  5. Mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak;
  6. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau
  7. Meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan badan publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.

D. Pelaksanaan UU KIP

Prinsip-prinsip kebebasan memperoleh informasi ini sebenarnya telah banyak dikenal dalam banyak produk legislasi di Indonesia sebelum disahkannya UU KIP. Dalam UUD 1945, hal ini terdapat dalam Pasal 28 F. Di luar UUD 1945, terdapat sejumlah peraturan lain yang memberikan kesempatan pada masyarakat untuk memperoleh informasi, antara lain:[15]
  1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dimana Pasal 4 menyebutkan bahwa: ”Setiap orang berhak untuk mengetahui rencana tata ruang.” Ketentuan ini dilanjutkan dengan PP Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang, dimana Pasal 2 huruf b menyatakan bahwa: ”Dalam kegiatan penataan ruang masyarakat berhak: (b) mengetahui secara terbuka rencana tata ruang wilayah, rencana tata ruang kawasan, rencana rinci tata ruang kawasan.” Kemudian Pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa: ”Dalam rangka memenuhi hak masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), menyebarluaskan rencana tata ruang yang telah ditetapkan pada tempat-tempat yang memungkinkan masyarakat mengetahui dengan mudah.”
  2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana Pasal 5 menyatakan bahwa: “Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.”
  3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen, dimana Pasal 3 huruf d menyatakan bahwa: “Perlindungan konsumen bertujuan (d) menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi”. Kemudian Pasal menyatakan bahwa: “Hak konsumen adalah: hak atas informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.” Selanjutnya Pasal 7 huruf b menyatakan bahwa: “Kewajiban pelaku usaha adalah: (b) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.”
  4. SK KMA 144/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.
Berkaca dari adanya beberapa pengaturan mengenai kebebasan memperoleh informasi diatas, seyogyanya masyarakat mudah untuk memperoleh informasi. Namun faktanya banyak sekali kasus dalam masyarakat dimana masyarakat sulit mendapatkan informasi, banyaknya peraturan yang tidak diketahui oleh masyarakat, adanya berbagai praktek penyimpangan informasi yang ada serta penyalahgunaan informasi untuk kepentingan ekonomi pribadi pejabat publik itu sendiri. Sebagai contoh yang sepele, dalam hal pengurusan KTP, meski tercantum gratis pengurusan KTP, biasanya masyarakat tetap dikenakan biaya oleh petugas kelurahan dengan biaya yang variatif tergantung kelurahannya dan pekerjaan si pemohon KTP tersebut. Akibatnya, perkembangan kebebasan informasi publik di Indonesia pun cenderung lambat. Berikut adalah beberapa alasan lambatnya kebebasan mengakses informasi di Indonesia:[16]

1. Tidak mampu atau tidak terbiasa meminta informasi yang penting untuk mereka

Bagi sebagian besar rakyat kecil di Indonesia, salah satu pintu informasi untuk mendapatkan informasi public, khususnya menyangkut pelayanan publik, yaitu melalui lingkungan masyarakat sekitar mereka tinggal, misalnya seperti dengan saling bertanya dari mulut ke mulut antar tetangga. Keterbatasan ilmu pengetahuan yang disebabkan rendahnya tingkat pendidikan seringkali menyebabkan sebagian besar mayarakat Indonesia kurang mengerti dan menyadari hak-hak mereka untuk memperoleh informasi, terutama tentang pelayanan publik. Namuan apabila kemudian ada yang paham tentang kebutuhan ini, belum tentu juga ia paham mengenai cara memperoleh informasi tersebut. Ditambah lagi dengan kondisi birokrasi di Indonesia yang masih sering ‘melumpuhkan’ keinginan dan/atau kemampuan masyarakat untuk mengakses informasi secara mandiri. Akibatnya praktik percaloan di Indonesia menjadi suatu momok yang makin menyurutkan keinginan dan/atau kemampuan mayarakat dalam mengakses informasi yang ia butuhkan.

2. Tidak terbiasa mengikuti prosedur birokrasi yang rumit

Selain rendahnya ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat seperti diuraikan di atas, tuntutan hidup yang kian membutuhkan waktu cepat turut menyebabkan masyarakat untuk tidak begitu menyukai prosedur birokrasi yang hingga kini cenderung berbelit-belit dan membutuhkan waktu yang relatif lama. Akibatnya mereka tidak terbiasa memilih alur birokrasi yang sesuai prosedur, bahkan lebih memilih menyerahkan urusan dengan calo atau lebih buruknya lagi menyuap aparat birokrasi dengan harapan urusannya dapat lebih cepat selesai.

3. Lamanya waktu mengakses informasi

Ketersediaan informasi yang kurang memanfaatkan perkembangan teknologi informasi semakin memperburuk dan memperlambat laju informasi yang kiranya bersifat segera, supaya dapat bermanfaat bagi publik.

4. Prosedur yang belum jelas dan terbuka

Inisiatif serta inovasi para pejabat publik dalam menyajikan informasi publik sangat diharapkan selama ini oleh masyarakat. Salah satunya ialah keterbukaan atas informasi menyangkut prosedur untuk memperoleh informasi public yang dibutuhkan oleh masyarakat. Keterbukaan mengenai prosediur ini sebenarnya merupakan gerbang awal yang seharusnya dikembangkan, sehingga masyarakat pengguna informasi merasa dipermudah dan dijamin hak-haknya atas informasi publik dimaksud.

5. Fenomena ketakutan kepada pejabat publik pelayan informasi

Adanya gap antara pejabat publik dengan rakyatnya sebagai pengguna informasi publik, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat serta adanya peluang pidana berupa pencemaran nama baik dan lain sebagainya cenderung membuat masyarakat enggan dan khawatir bila sikap mereka yang begitu aktif dan kritis terhadap hak untuk memperoleh informasi. Gambaran pejabat publik Indonesia saat ini memang masih jauh dari ramah dan tulus melayani masyarakat.

Meskipun dalam praktek UU KIP ini belum banyak diterapkan secara komprehensif, namun upaya mewujudkan pola-pola kerja birokrasi yang profesional, transparan dan berorientasi pada kepentingan publik mulai menemukan titik terangnya. Meski tidak selalu berhasil, berikut ini adalah beberapa daerah yang telah berupaya mewujudkan prinsip-prinsip keterbukaan informasi publik di daerah otonominya, antara lain:
1. Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah{17]

Kabupaten Sragen merupakan contoh sukses penerapan e-government dengan didirikannya kantor maya (disebut pula Kantaya). Kantor maya memanfaatkan sistem jaringan yang menjangkau hingga 208 desa. Melalui kantor maya koordinasi antar perangkat pemerintah dari tingkat desa, kecamatan dan bupati menjadi lebih mudah. Rapat antar satuan kerja pun bisa dilakukan melalui telekonferensi.

Kepala daerah bisa mengontrol kinerja perangkat pemerintahan sampai tingkat desa melalui intranet yang juga dilengkapi dengan web cam. Sistem online ini mempercepat pelaporan dan hemat anggaran karena pengiriman surat; undangan; surat dinas; dan disposisi pertemuan antar kepala desa, camat sampai Bupati, dapat dilakukan melalui Kantaya. Di Kantaya juga tersedia antara lain sistem informasi pemerintahan daerah, perizinan terpadu, kependudukan dan kesehatan. Informasi itu bisa diakses dengan mudah hingga di tingkat desa.

Di Sragen pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sekitar lima menit saja dan bisa mencegah adanya KTP ganda karena pemerintah sudah memiliki data base bagi 875.463 orang penduduknya. Selain KTP, di Kantor Badan Perizinan Terpadu, masyarakat juga dapat mengurus antara lain izin usaha, izin kerja dan sebagainya. Kemauan pemerintah untuk transparan, sehingga tidak ada calo, suap dan KKN karena semua transparan seperti dalam akuarium. Sistem inilah yang dapat kita gunakan untuk menghilangkan praktek-praktek yang tidak baik.

2. Kota Gorontalo[18]

Perda Transparansi yang dilaksanakan dengan Keputusan Walikota Gorontalo Nomor 2421 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Perda Nomor 3 Tahun 2002 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Kota Gorontalo, Walikota Gorontalo mewajibkan badan publik untuk menunjuk pejabat fungsional di masing-masing unit kerja, merumuskan mekanisme pelayanan dokumentasi dan informasi, mekanisme pendokumentasian dan penyiapan data serta informasi unit kerja dan menentukan jenis-jenis informasi yang wajib diumumkan yang tersedia setiap saat dan yang diumumkan secepatnya.

Namun dalam Pelaksanaannya tidak ada pejabat khusus yang melayani informasi dan dokumentasi. Prosedur pelayanan informasi di Kantor Pelayanan Satu Atap hanya melalui informasi yang dipajang di papan pengumuman. Informasi itu terkait tata cara mengurus perizinan dimana masyarakat yang menjadi pemohon izin harus datang ke kantor itu dan melihat langsung di papan pengumuman. Tidak ada prosedur baku untuk masyarakat yang memerlukan informasi di luar tata cara itu, misalnya data jumlah pengajuan izin dan sebagainya. Prosedur pelayanan informasi di Bagian Humas benar-benar tidak ada. Masyarakat yang ingin mengakses informasi harus datang langsung ke kantor Humas dan menemui siapa saja pejabat humas yang ada untuk meminta informasi.

3. Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta[19]

Contoh lain ialah penerapan keterbukaan informasi publik di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta dalam lingkup transparansi dana publik. Pada tahun 2005, Pemkab Bantul menetapkan Perda tentang Transparansi dan Partisipasi Publik, namun implementasinya elit mendominasi prosedur penganggaran. Prosedur yang berjalan cenderung teknokratik (BAPPEDA, SKPD) dan politik (partai politik). Perencanaan program tidak sinkron dengan proses penganggaran. Masalah tersebut dapat terlihat dari data yang didapat di lapangan, antara lain (hasil pengamatan IDEA, 2008):

  1. Anggaran pendidikan mencapai 40% total belanja tahun 2006 tetapi 34,8% dihabiskan untuk gaji pejabat;
  2. Pemkab Bantul memiliki 11 rekening bank non-budgeter dari program CSR dan pihak ketiga untuk gempa yang tidak dipublikasikan; dan
  3. Revisi anggaran pasca gempa 2006 tidak menyentuh pengurangan gaji dan insentif pejabat tetapi justru memotong dana sosial.
E. Implementasi UU KIP

Meskipun UU KIP telah disahkan pada tahun 2008, tepatnya tanggal 30 April 2008, UU KIP ini baru dapat berlaku pada tahun 2010, tepatnya tanggal 30 April 2010. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 64 ayat (1) UU KIP bahwa UU KIP berlaku 2 tahun setelah pengesahannya. Alasannya adalah perlunya ada persiapan waktu bagi aparat dan lembaga pemerintahan terkait dengan persiapan sarana dan prasarana serta pembentukan Komisi Informasi.

Keberlakuan UU KIP ini merupakan salah satu problem sendiri mengingat lamanya masa yang dibutuhkan untuk keberlakuan UU KIP itu. Ditakutkan oleh beberapa pihak, saat UU KIP ini diberlakukan nanti malah tidak akan efektif. Selain masalah keberlakuan, dalam UU KIP ini juga terdapat beberapa pasal karet, seperti:

  1. Pasal 52 yang menyebutkan, "Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan informasi publik secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5 juta."
  2. Pasal 52 mengatur sanksi serupa untuk badan publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan dan/atau tidak menerbitkan informasi publik.
Padahal praktik-praktik dan standar-standar hukum internasional , seperti yang termaktub dalam kajian Toby Mendel tentang Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB,[20] hanya mengatur tentang akses informasi publik., bukan malah mengatur sanksi pidana dan penggunaan informasi publik itu sendiri. Misalnya, Pasal 19 DUHAM PBB yang diterbitkan pada 1948 yang menyebutkan setiap orang memiliki hak asasi manusia untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan gagasan-gagasan melalui segala media dan tanpa memandang batas-batas wilayah.

Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut bisa diinterpretasikan secara beragam. Pasal-pasal karet tersebut pun juga rentan penyimpangan wewenang oleh pemerintah. Bisa saja terjadi, aparat hukum dan badan publik menggunakan ketentuan ini untuk mengancam pengguna informasi publik, seperti media dalam mencari informasi publik dan menyebarkannya kepada masyarakat. Sementara itu, badan publik yang seharusnya menyediakan informasi publik dapat menggunakan alasan rahasia negara untuk menghindari pemberian informasi publik.

Terlepas dari kekurangan diatas, UU KIP tetap memiliki keuntungan sebagai berikut:

  1. Bernilai strategis dan dapat membuka terobosan bagi serta mendorong penyegeraan dan penuntasan pembahasan RUU terkait dengan kepentingan publik, seperti RUU Pelayanan Publik yang masih dibahas di DPR.
  2. UU KIP dapat memberikan landasan hukum dan informasi yang cukup bagi masyarakat akan haknya atas pelayanan publik dari pemerintah, terutama landasan bagi masyarakat dalam mengevaluasi kebijakan publik sekaligus berpartisipasi dalam proses kebijakan publik.
  3. UU KIP dapat dilihat sebagai upaya perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan publik di dalam badan publik dan para pejabat publik.
  4. UU KIP juga dapat memaksa dan mendorong LSM dan partai politik untuk menerapkan transparansi, terutama dalam hal keuangan dan kegiatannya.
  5. Menutupi kelemahan SK KMA 144/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan. Terkait akses SK KMA, ada kendala yuridis yang muncul, terutama ketika SK KMA 144/2007 “ketinggalan” tidak mencantumkan item SK KMA sebagai informasi yang boleh diakses publik.[22] Pasal 6 ayat (3) SK KMA 144/2007 menegaskan bahwa informasi yang harus diumumkan meliputi Peraturan MA, Surat Edaran MA, Yurisprudensi, Laporan Tahunan MA, Rencana Strategis MA dan pembukaan pendaftaran untuk pengisian posisi hakim atau pegawai minus SK Ketua MA. Dalam konteks keterbukaan MA, Pasal 1 angka 3 UU KIP menyatakan “Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi non-pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
Artinya, ruang lingkup berlakunya UU KIP termasuk lembaga peradilan (MA dan MK). Kemudian Pasal 18 ayat (1) huruf a UU KIP mengatur bahwa “putusan pengadilan” termasuk item informasi yang bisa diakses publik. Ketentuan ini tidak menjelaskan lebih lanjut dalam penjelasan pasal dan tidak memerintahkan regulasi dibawahnya untuk mengatur lebih lanjut. Artinya, setiap putusan pengadilan, baik pidana, perdata dan semua putusan keluaran lembaga peradilan boleh diakses publik tanpa kecuali, termasuk yang belum in kracht. Meski demikian, dalam pelaksanaannya April 2010 nanti akan ada sedikit masalah karena Pasal 6 ayat (1) huruf e dan f SK KMA 144/2007 menegaskan bahwa semua putusan pengadilan yang dapat diakses publik harus sudah in kracht kecuali perkara tertentu, seperti korupsi, terorisme, narkotika, pencucian uang, dan perkara yang menarik perhatian publik. Artinya, selain yang masuk kategori perkara tertentu, putusan yang belum in kracht tidak dapat di akses publik. Pasal inilah yang berpotensi bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf a UU KIP.



Daftar Kutipan:
[1] Koalisi untuk Kebebasan Informasi, Melawan Tirani Informasi, (Jakarta: Koalisi untuk Kebebasan Informasi, 2001), hal. 11.
[2] -------------------------------- Good Governance dan Lingkungan, (Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2001).
[3] Indonesia, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846, Pasal 1 angka 2.
[4] Alamsyah Saragih, “Kecenderungan Internasional dalam Keterbukaan Informasi”, http://alamsyahsaragih.blogspot.com/2009/02/kecenderungan-internasional-dalam.html, diakses pada 23 Maret 2010.
[5] Masduki, Kebebasan Informasi Publik Beberapa Studi Kasus, http://www.scribd.com/doc/12021520/Kebebasan-Informasi-PublikTIFA, diakses pada 23 Maret 2010.
[6]
Ignatius Haryanto, Apa itu Kebebasan Memperoleh Informasi?, http://www.kedai-kebebasan.org/download/1164799941_Buku_Kampanye_FOIA.pdf, diakses pada 23 Maret 2010.
[7] Ibid.
[8]
Ibid.
[9] Adinda Tenriangke Muchtar, Menyambut UU Keterbukaan Informasi Publik, http://theindonesianinstitute.com/index.php/20080426173/Menyambut-UU-Keterbukaan-Informasi-Publik.html, diakses pada 23 Maret 2010.
[10]
Indonesia, Op. Cit., Pasal 2 ayat (1) jo. ayat (3).
[11] Ibid., Pasal 2 ayat (1).
[12]
Ibid., Pasal 2 ayat (3).
[13] Dalam Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 3 ayat (4) Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik ditentukan adanya suatu batasan normatif mengenai informasi publik yang dikecualikan, yaitu bersifat ketat dan terbatas.
[14] Indonesia, Loc.Cit., Penjelasan Pasal 2 ayat (4).
[15] Ignatius Haryanto, Op. Cit.
[16] Masduki, Op. Cit.
[17] Sri Lestari, Kantor Maya di Kabupaten Sragen, http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2010/03/100324_sragen.shtml, diakses pada 23 Maret 2010 dengan suntingan seperlunya.
[18] Masduki, Op. Cit., dengan suntingan seperlunya.
[19] Ibid.
[20] Adinda Tenriangke Muchtar, Op. Cit.
[21] Ibid.
[22] http://zamrony.wordpress.com/2008/06/25/menyoal-sk-kma-1442007-dan-uu-kip/, diakses pada 23 Maret 2010.

*semua gambar diambil dari sini