Dec 28, 2009

Wakaf Produktif di Indonesia

sumber gambar dari sini

A. Pengertian dan Hukum Wakaf


Wakaf adalah menahan sesuatu baik hissi maupun maknawi. Kata wakaf juga digunakan untuk objeknya yakni dalam arti sesuatu yang ditahan.[1]
Dr. Mundzir Qohf mendefinisikan dengan bahasa kontemporer, “Wakaf adalah penahan harta, baik muabbad (untuk selamanya) atau muaqqat (sementara), untuk dimanfaatkan, baik harta tersebut maupun hasilnya, secara berulang-ulang untuk suatu tujuan kemaslahatan umum atau khusus.”[2] Dalam bagian lain, beliau mengistilahkan, “Wakaf dalam artian umum dan menurut pengertian realitasnya adalah menempatkan harta dan aset produktif terpisah dari tasharuf (pengelolaan) pemiliknya secara langsung terhadap harta tersebut serta mengkhususkan hasil atau manfaatnya untuk tujuan kebajikan tertentu, baik yang bersifat perorangan, sosial, keagamaan maupun kepentingan umum.”[3]
Hukum wakaf menurut Jumhur Ulama adalah disunnahkan dan dianjurkan (sunnah muakkad), sehingga wakaf pun termasuk dalam amal ibadah yang disyariatkan agama Islam. Terdapat beberapa dalil umum dan khusus yang menunjukkan bahwa hukum wakaf adalah sunnah muakkad.
Salah satu dalil umum terdapat dalam surat Al Imran ayat 92 yang berbunyi, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”
Adapun salah satu dalil khusus adalah Hadits riwayat Muslim dari Ibn Umar, ia berkata, “Umar mempunyai tanah di Khaibar, kemudian ia datang kepada Rasulullah SAW meminta untuk mengolahnya, sambil berkata: Ya Rasulullah, aku memiliki sebidang tanah di Khaibar, tetapi aku belum mengambil manfaatnya, bagaimana aku harus berbuat? Rasulullah bersabda, “Jika engkau menginginkannya, tahanlah (waqaf) tanah itu dan shodaqohkan hasilnya. Tanah tersebut tidak boleh dijual atau diperjualbelikan, dihibahkan atau diwariskan. Maka ia menshodaqohkannya kepada fakir miskin, karib kerabat, budak belian, dan ibnu sabil. Tidak berdosa bagi orang yang mengurus harta tersebut untuk menggunakan sekedar keperluannya tanpa maksud memiliki harta itu.” Berkata Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, “Hadits Umar ini adalah asal dan landasan syari’ah pada waqaf.”[4]


B. Potensi dan Manfaat Wakaf

Wakaf sejatinya merupakan salah satu instrumen penting dalam Islam yang memiliki potensi besar untuk mengangkat kesejahteraan ummat Islam, sehingga wakaf dapat dikatakan mampu mengangkat kondisi ummat Islam dari kondisi terpuruk menuju ummat yang terbaik (khoiru ummah).
Wakaf juga merupakan salah satu amalan mulia yang akan mendapat pahala yang mengalir tiada henti. Hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah segala amal perbuatannya, kecuali tiga: shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak sholeh yang mendoakannya.” Imam Nawawi mempertegas dalam kitabnya, Syarh Shahih Muslim, bahwa shodaqoh jariyah dimaksud hadits diatas adalah wakaf. Menurutnya, hakikat wakaf adalah menahan harta (nilai pokok) dan membagikan hasil pengelolaannya.[5]

Selain itu, wakaf termasuk dalam amalan sunnah yang akan memberikan double effect bagi wakif (orang yang berwakaf) dan mauquf ‘alaih (yang berhak menerima wakaf),[6] antara lain:[7]
  1. Menunjukkan kepedulian dan tanggung jawab terhadap kebutuhan masyarakat;
  2. Keuntungan moril bagi wakif dengan mendapatkan pahala yang akan mengalir terus menerus di dunia dan akhirat;
  3. Memperbanyak aset-aset yang digunakan untuk kepentingan umum yang sesuai dengan ajaran Islam;
  4. Merupakan sumber dana potensial bagi kepentingan peningkatan kualitas ummat, seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, ekonomi, dakwah, dan lain sebagainya;
  5. Sebagai peluang amal sholeh untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT;
  6. Menumbuhkan jiwa yang peka terhadap kehidupan sosial ummat (social intellegent); dan
  7. Sebagai instrumen penting dalam membangkitkan sistem ekonomi Islam.

Meski demikian, masih banyak masyarakat, khususnya ummat Islam di Indonesia yang belum memahami makna wakaf secara komprehensif. Padahal kondisi ummat Islam di Indonesia saat ini dapat dikatakan masih jauh dari kondisi ideal. Oleh karena itu, optimalisasi pengumpulan dan pendayagunaan wakaf menjadi salah satu opsi yang potensial dalam menanggulangi kemiskinan yang melilit mayoritas ummat Islam di Indonesia.

C. Prospek Pengembangan Wakaf Produktif di Indonesia

Aset wakaf di Indonesia terbilang besar. Sampai Oktober 2007, jumlah seluruh tanah wakaf di Indonesia sebanyak 366.595 lokasi dengan luas 2.686.536.565,68 meter persegi. Berdasarkan penelitian Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap 500 responden nazhir di 11 Propinsi menunjukkan harta wakaf lebih banyak bersifat diam (77%) daripada yang menghasilkan atau produktif (23%). Temuan umum lainnya juga menunjukkan pemanfaatan terbesar harta wakaf adalah masjid (79%) daripada peruntukan lainnya dan lebih banyak berada di wilayah pedesaan (59%) daripada perkotaan (41%). Sedangkan para nazhir pun tidak terfokus dalam mengelola, mereka mayoritas bekerja sambilan dan tidak diberi upah (84%), dan yang bekerja secara penuh dan terfokus ternyata amatlah minim (16 %). Selain itu, wakaf di Indonesia lebih banyak dikelola oleh perseorangan (66%) alias tradisional daripada organisasi professional (16%) dan berbadan hukum (18%).[8]

Hasil penelitian diatas menunjukkah lebih banyaknya wakaf di Indonesia yang dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumtif ketimbang wakaf yang berfungsi produktif. Padahal Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sehingga prospek perkembangan wakaf sebenarnya sangat besar. Apalagi jika kita menengok pada negara tetangga, misalnya Singapura.
Meskipun muslim adalah penduduk minoritas di Singapura, namun aset wakaf disana jika dikurskan berjumlah S$ 250 juta, sehingga Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) membuat anak perusahaan Wakaf Real Estate Singapura (Warees) untuk mengelola dan memaksimalkan aset wakaf. Contoh, Warees mendirikan gedung berlantai delapan diatas tanah wakaf. Pembiayaannya diperoleh dari pinjaman dana Sukuk sebesar S$ 3 juta yang harus dikembalikan selama lima tahun. Gedung ini disewakan dan penghasilan bersih mencapai S$ 1.5 juta per tahun. Setelah tiga tahun berjalan, pinjaman pun lunas. Selanjutnya, penghasilan tersebut menjadi milik MUIS yang dialokasikan untuk kesejahteraan umat.[9]

Sebenarnya, jika kita dapat konsisten dalam mengingat dan memegangi hadits yang berkisah tentang Umar dan tanah di Khaibar miliknya, tidak akan ada mauquf bih (benda yang diwakafkan) yang terbengkalai. Hadits tersebut sejatinya telah cukup menjelaskan prinsip wakaf sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW. Substansi perintah Rasulullah SAW dalam hadits tersebut menekankan pentingnya eksistensi benda wakaf dan mengelolanya secara profesional, sedangkan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan kebajikan umum, sehingga jelas bahwa berfungsi atau tidak berfungsinya suatu perwakafan tergantung pada profesionalisme nadzir[10] dalam menjalankan perannya. Namun realitas perwakafan di Indonesia hingga saat ini menunjukkan hasil yang belum optimal, sehingga masih diperlukan langkah-langkah lain dalam mencapai optimalisasi wakaf di Indonesia.
Salah satu langkah optimalisasi wakaf sebagai salah satu lembaga sosio-ekonomi Islam dikaitkan dengan kesejahteraan ummat adalah dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang dapat mengatur secara memadai perwakafan di Indonesia.[11] Saat ini telah ada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 yang mengatur tentang pengelolaan wakaf di Indonesia.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 memiliki beberapa pengaturan baru yang dibuat guna mendukung pengembangan wakaf di Indonesia. Beberapa hal baru dimaksud, antara lain mengenai nadzir, mauquf bih (harta benda yang diwakafkan), mauquf ‘alaih (peruntukan harta wakaf), dan pembentukan Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang merupakan lembaga independen dalam melaksanakan tugasnya.
a. Nadzir
Dalam UU ini, nadzir dimasukkan sebagai unsur wakaf (pasal 6) dan bukan hanya perseorangan saja, namun organisasi dan/atau badan hukum pun dapat menjadi nadzir (pasal 9) dengan memperhatikan syarat nadzir (pasal 10), tugas yang diamanahkan (pasal 11), dan pendaftaran nadzir (pasal 14 ayat (1)). Selain itu, nadzir memperoleh pembinaan dari Menteri dan BWI (pasal 13) dan atas kinerjanya, nadzir memperoleh imbalan dari mauquf bih yang dikelolanya maksimal 10% dari hasil bersih dari pengelolaan dan pengembangan mauquf bih. Tujuannya, demi menjadikan nadzir yang lebih profesional dan capable dalam menjalankan mengelola dan mengembangkan mauquf bih yang menjadi tanggung jawabnya.
b. Mauquf Bih
Dalam UU ini, mauqif bih tidak hanya benda tidak bergerak saja, melainkan juga termasuk benda bergerak seperti uang giral dan uang kartal, kendaraan, HAKI (hak atas kekayaan intelektual), hak sewa, dan sebagainya. Lebih lanjut, wakaf uang pun telah diatur tersendiri dalam UU ini, yaitu pada BAB II Bagian Kesepuluh tentang Wakaf Benda Bergerak Berupa Uang. Dengan adanya landasan hukum yang jelas ini, potensi wakaf uang di Indonesia akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat mengingat pelaksanaan wakaf uang yang lebih praktis ketimbang wakaf tanah, ditambah dengan kondisi dimana jaringan konter wakaf uang cukup luas. Apalagi dengan adanya wakaf uang ini akan makin memudahkan untuk berwakaf bagi semua kalangan ekonomi masyarakat, tidak hanya orang kaya saja. Setiap orang dapat berwakaf hanya dengan membeli sertifikat wakaf tunai yang diterbitkan oleh institusi pengelola wakaf. Hal ini tentu berbeda dengan zakat dimana orang yang berzakat (muzzaki) harus terlebih dahulu memenuhi beberapa persyaratan yang diantaranya yaitu hartanya harus melebihi nishab. Dengan demikian, potensi jumlah wakif akan semakin besar mengingat jumlah penduduk Indonesia yang juga sangat besar. Dengan makin banyaknya wakif tentu akan berimplikasi pada makin banyaknya jumlah mauqif bih dalam bentuk tunai (wakaf tunai) yang dapat dikelola. Misalnya, di Indonesia ada 1 juta wakif yang mewakafkan uangnya sebanyak Rp. 50.000,- setiap bulan, maka akan ada dana wakaf sebesar Rp. 50 milyar per bulan atau Rp. 600 milyar setahun. Apabila dana ini kemudian diinvestasikan dengan tingkat return 10% per tahun, maka akan ada penambahan dana wakaf sebesar Rp. 5 milyar per bulan atau Rp. 60 milyar setahun. Selain itu, investasi pun dapat diwujudkan dalam bentuk penciptaan lapangan kerja baru, sehingga dapat membantu dalam memperkuat ekonomi bangsa. Sungguh betapa luar biasa potensi yang dimiliki wakaf jika wakaf dikelola secara profesional. Pun telah ada beberapa contoh lembaga yang dapat bertahan dengan mengandalkan pengelolaan wakaf secara profesional, misalnya PP Modern Gontor, Universitas Al Azhar (Mesir), Universitas Islam Indonesia (UII), dan Islamic Relief (organisasi pengelola dana wakaf tunai yang berpusat di Inggris).
c. Mauquf ‘Alaih
Dalam Penjelasan Umum UU ini dinyatakan bahwa mauquf ‘alaih meliputi kepentingan sarana ibadah dan sosial, serta untuk memajukan kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis dari mauquf bih.
d. Badan Wakaf Indonesia (BWI)
Tujuan dibentuknya BWI yaitu untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional (pasal 47 ayat (1)). Dalam UU ini BWI diatur dalam satu bab tersendiri yaitu BAB VI tentang Badan Wakaf Indonesia. Dari pemaparan diatas, dapat kita lihat bahwa Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk memperkuat ekonominya. Wakaf dapat menjadi salah satu opsi potensial dalam mencapai kesejahteraan yang merata bagi masyarakat Indonesia, asalkan wakaf dapat dikelola secara profesional demi berjalannya fungsi wakaf yang produktif. Tidak ada istilah terlambat bagi kita untuk kembali menata pengelolaan wakaf secara lebih profesional dan amanah agar lebih memberikan kesejahteraan sosial, baik di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, sarana-prasarana ibadah dan lain sebagainya. Untuk itu, saat ini terdapat tiga langkah yang mendesak untuk dilakukan yaitu:[12]
  1. lebih meningkatkan kampanye dan sosialisasi wakaf tunai;
  2. segera membentuk dan memperkuat struktur Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai lembaga nadzir negara; dan
  3. mendorong bank syariah dan lembaga keuangan syariah untuk lebih mengintensifkan gerakan wakaf tunai sebagai gerakan pengentasan kemiskinan nasional.

Wallahu’alam bishowab.


Daftar Kutipan:

[1] Abdul Wahhab Khallaf, Ahkam Al Waaf, (Mesir: Matba’ah al Misr, 1951), hal. 14 sebagaimana dikutip dalam Farida Prihatinini, Uswatun Hasanah, dkk., Hukum Islam Zakat & Wakaf, (Depok: Penerbit Papas Sinar Sinanti bekerjasama dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), cet. 1, hal. 108.
[2]
Taufik Ridho, Panduan Wakaf Praktis, (Jakarta: ARBA Printing dan Tabung Wakaf Indonesia, 2006), cet. 1, hal. 5.
[3] Ibid.
[4] Ibid., hal. 9.
[5] Abdullah Ubaid, Menuju Era Wakaf Produktif, http://abdullah-ubaid.blogspot.com/2009/05/menuju-era-wakaf-produktif.html , diakses pada 5 Desember 2009.
[6] Taufik Ridho, Op.Cit., hal. v.
[7] Ibid., hal. 53.
[8] Loc.Cit.
[9] Ibid.
[10] Syarat-syarat nadzir yang ideal, antara lain memahami hukum wakaf, memahami ekonomi syari’ah dan instrumen keuangan syari’ah, memahami perwakafan di berbagai negara, mampu mengakses calon wakif, mampu mengelola uang, administrasi rekening beneficiary, distribusi hasil investasi, serta transparan dan akuntabel. Sumber: Slide mata kuliah Zakat dan Wakaf.
[11] Disarikan dari Farida Prihatinini, Uswatun Hasanah, dkk., Hukum Islam Zakat & Wakaf, (Depok: Penerbit Papas Sinar Sinanti bekerjasama dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), cet. 1.
[12] Irfan Syauqi Beik, Wakaf Tunai dan Pengentasan Kemiskinan?, http://www.sebi.ac.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=20 , diakses pada 5 Desember 2009.

Sep 9, 2009

Quote of the Day

QUOTE OF THE DAY:
"Quality lies in the correspondence between dreams and action, harmony between the ideals and hard work."

Guest Book


Please feel free to write your comment about this Blawg on my Guest Book.
Thank you for visiting my Blawg.



Warm Regards,
Wenny Radistya