Belajar Nge-Blawg - Wenny Radistya
May 22, 2010
Anda Konsumen? Masuk Sini
Kemarin sempat dapat tugas bikin laporan penelitian dari salah satu mata kuliah favorit saya, Hukum Perlindungan Konsumen. Karena saya adalah anak FH yang belum terbiasa meneliti, asli saya jadi terkaget-kaget sendiri bisa mencapai sepuluh lembar waktu di-print out karena kebanyakan teman saya hanya 2-4 lembar saja. Udah mana karena saya (dan beberapa teman) telat ngumpulinnya, saya pun harus mengumpulkan langsung ke rumah dosennya (nanti saya ceritakan perjalanan saya). Asyiknya, waktu sampai di rumah dosen itu, saya lihat laporan dari mahasiswa lain begitu tipis dan polos alias ga pakai dijilid. Walhasil, dosen saya hanya senyum-senyum waktu menerima laporan saya.
Berkat penelitian itu, saya pun jadi tahu tentang teori fiksi hukum (ignorare legis est lata culpa) yang kalau katanya pak Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, ternyata makin fiksi atau khayalan saja. Dalam teori itu disebutkan bahwa semua orang dianggap tahu hukum/undang-undang (een ieder wordt geacht de wet/het recht te kennen). Nyatanya dari hasil penelitian saya, 75% responden mengaku belum pernah mendengar tentang UUPK. Setengah dari responden yang mengaku demikian hanya pernah mendengar sekilas tentang keberadaan YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia). Satu responden dari yang mengaku demikian pun mengatakan dirinya hanya bisa pasrah ketika mengalami kejadian dimana hak-haknya sebagai konsumen terlanggar dan enggan menuntut pelaku usaha tersebut karena prosesnya yang menurutnya merepotkan.
Keterangan ini ternyata kemudian seiring dengan pemikiran pak Az Nasution dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Beliau menyatakan bahwa meskipun berbagai instrumen hukum umum, baik hukum perdata maupun publik, dapat digunakan untuk menyelesaikan hubungan dan/atau masalah konsumen dengan pelaku usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa, tetapi ternyata hukum umum ini juga mengandung kelamahan, antara lain:
1. KUHPer dan KUHD tidak mengenal istilah konsumen karena saat keduanya dibentuk hanya dikenal istilah koper atau huurder (pembeli atau penyewa -bahasa Belanda), bewaargever (penitip barang), verbruiklener (peminjam), verzekerde (tertanggung) dan opvarende (penumpang).
2. Hukum acara perdata yang tidak membantu konsumen dalam mencari keadilan. Dalam Pasal 1865 KUHPer menentukan pembuktian hak seseorang atau kesalahan orang lain dibebankan pada penggugat, sehingga konsumen sebagai penggugat seringkali tidak bisa memenuhinya karena tidak paham tentang pembuatan produk, sistem pemasaran yang digunakan pelaku usaha, maupun layanan purna jual yang digunakan pelaku usaha.
3. Falsafah yang berbeda antara falsafah dalam KUHPer dan/atau KUHD dengan falsafah hukum yang sekarang. Doktrin yang dianut KUHPer dan/atau KUHD adalah telak-telak liberalisme (pemikiran politik ekonominya adalah laisses faire), sedangkan doktrin falsafah Indonesia adalah Pancasila yang pemikiran politik ekonominya adalah kesejahteran rakyat dan dengan perikehidupan yang seimbang, serasi dan selaras.
Sementara sisanya, 25% rsponden yang mengaku pernah mendengar tentang adanya UUPK pun mengatakan bahwa mereka tidak tahu lebih lanjut tentang UUPK, hanya sebatas pernah membacanya di koran saja.
Ketidaktahuan konsumen inilah yang kemudian ditakutkan (dalam teori Hukum Perlindunga Konsumen lho yaa..) akan meningkatkan 'kenakalan' pelaku usaha sehingga dapat merugikan hak-hak konsumen. Meskipun dari hasil penelitian saya, hanya 37,5% responden saja yang mengaku pernah mengalami kejadian dimana hak-haknya dilanggar oleh pelaku usaha. Biasanya meraka ditipu terkait masalah harga yang lebih mahal, kualitas yang ternyata rendah atau tidak layak lagi dijual (misal: makanan kadaluwarsa), maupun kuantitas barang dan/atau jasa yang dibelinya.
Adapun 62,5% responden yang mengaku belum pernah mengalami kejadian demikian, mengaku bahwa bisa jadi karena sudah biasa berlangganan di satu penjual saja sehingga telah terjalin rasa saling percaya antara penjual (pelaku usaha) dan pembeli (konsumen).
Overall, akhirnya saya cuma bisa bilang kalau terlihat pentingnya keberadaan pembudayaan, pemasyarakatan dan pendidikan hukum (law socialization and law education) bagi masyarakat, misalnya para administrator hukum melakukan aksi lebih untuk memasyarakatkan hukum, bukan hanya sekedar meletakkan produk hukum itu dalam Lembaran Negara RI, Berita Negara RI, Lembaran Daerah atau Berita Daerah secara formal (publication of law). Seharusnya semua pihak merasa terikat akan tanggung jawab yang lebih luas dalam menyebarluaskan dan memasyarakatkan aturan-aturan ke seluruh lapisan masyarakat. Perkembangan zaman pun dapat dimanfaatkan untuk tujuan ini, misalnya melakukan pengelolaan informasi hukum (law information management) berbasis teknologi informasi. Beberapa cara misalnya menggunakan website yang diisi info hukum secara lengkap (one stop informations), publikasi yang konsisten di media massa tentang hukum perlindungan konsumen, pencerdasan dari kampung ke kampung dan sebagainya.
Nah, begitulah. Merasa belum tahu tentang hukum perlindungan konsumen? Atau pernah mengalami dimana hak Anda sebagai konsumen dilanggar? Silakan unduh UUPK yang saya attach di blog lain saya..hehe.. *promosi*
Be a smart consumer! ^___^
Subscribe to:
Posts (Atom)